Ustadz…saya ingin melanjutkan permasalahan sebelumnya. mohon pembetulannya jika saya salah
1-.Dari pendapat As Sindi, Asy Syaukani dan An-Nawawi yang ustadz nukil, dinyatakan dengan redaksi kalimat yang tidak secara tegas menyatakan bahwa menasehati penguasa seara terang-terangan adalah perkara yang Haram. Hal ini berbeda dengan pendapat Ulama yang sering melabeli khawarij atau manyatakan keharaman terhadap orang yang memberi nasehat secara terang-terangan.
2-.berkaitan dengan sejarah yang ustadz nukilkan, bahwa korban yang tewas di tangan Hajjaj akibat pemberontakan Abdurrahman bin Asy’ats mencapai 130 ribu orang, dan semuanya dieksekusi di depan Hajjaj tanpa bisa melawan”
Dengan banyaknya korban dari kalangan shahabat atau tabi’in yang gugur ditangan hajjaj, bukankah menunjukkan bahwa tidak ada ijma’ dari kalangan shahabat dan tabi’in bahwa menasehati penguasa secara terang-terangan adalah haram?
lalu bagaimana dengan :
1) Mazhab Imam Malik menjadikan pendapat ahlul Madinah sebagai dalil syara’, sedangkan ahlul Medinah telah menentang Yazid. Dan Imam Malik rahimahullah, tidak menyukai pemberontakan terhadap khalifah, tetapi juga menyatakan ketidaksetujuannya secara terang-terangan terhadap kezhaliman penguasa yang meminta bai’at dengan paksa dengan menyatakan hadist:
“Laysa ‘ala mustakrohi yamiin” (tidak sah sumpah dibawah paksaan)
Beliau rahimahullah disiksa oleh penguasa Abu Ja’far Al Mansur.
2) Mahzhab Imam Syafi’i membatasi pengggunaan dalil syara’ adalah dari Al Qur’an dan Hadist shahih, ijma’ shahabat dan Qiyash Syar’i.
Artinya, Imam Syafi’i rahimahullah tidak menjadikan ijma’ ulama sesudah mereka (jika memang mereka telah berijma) sebagai dalil syara’. Telah jelas, terdapat perselisihan dikalangan shahabat dan tabi’in di dalam masalah menasehati penguasa secara terang-terangan ini dikalangan mereka, maka bagaimana mungkin dinyatakan bahwa menasehati penguasa secara siir adalah kaidah Ulama salaf? Sedang, ulama salaf shalih adalah ada dari kalangan shahabat.
Apakah dibenarkan pendapat meyakini, bahwa mereka yang gugur menentang kezaliman penguasa (termasuk Said bin Zubair, Hasan dan Husein), insyaAllah syahid karena usaha mereka menegakkan Agama, sedangkan mereka pembunuhnya akan mendapat kemurkaan yang besar dari Allah subhana wa Ta’ala?
Apakah Jika kita menganggap menasehati penguasa secara terang-terangan adalah haram, maka berarti kita menganggap bahwa mereka yang gugur karena menasehati penguasa dan menentang penguasa secara terang-terangan berarti meninggal di dalam keadaan berdosa?
12 Maret 2011 at 11:24 am
Sebelum mengingkari kemunkaran (baik dari penguasa/lainnya), seseorang harus memperhatikan hal-hal berikut:
1-Ia harus tahu benar bahwa yg terjadi adalah kemunkaran menurut syar’i.
2-Ia harus melihatnya dengan mata kepala, baru wajib mengingkarinya. Adapun yg sekedar diberitahu maka tidak wajib. Karena Nabi mengaitkan pengingkaran dengan ‘melihat’ (man ro’a minkum munkaran…).
3-Ia harus memperhatikan tahapan-tahapan inkarul munkar. Apakah mengingkarinya dengan tangan, dengan lisan, atau cukup dengan hati. Sebab tidak semua orang bisa dan boleh melakukan penginkaran dengan tangan dan lisan. Penginkaran dengan tangan ialah bagi yg berkuasa melakukannya. sedangkan dengan lisan bagi yg berilmu. Namun semuanya harus dan bisa mengingkari dengan hati.
4-Ia harus memperhitungkan bahwa pengingkarannya tidak akan menimbulkan kemungkaran yg lebih besar dari yang ingin dia ingkari. Kalau ia yakin, atau menduga kuat tidak akan menimbulkan kemungkaran lebih besar; maka dianjurkan baginya untuk inkarul munkar. Tapi kalau tidak yakin (ragu-ragu) maka tidak dianjurkan, karena keraguan tidak boleh menjadi landasan berbuat dalam syari’at.
5-Ia harus mengingkari dengan cara yang syar’i, bukan dengan semangat doang tanpa ilmu…
6-Bentuk pengingkaran tidaklah sama, tergantung siapa yg mengingkari, siapa yg diingkari, dan apa kemungkaran yg dilakukan.
setelah memperhatikan poin-poin di atas, cobalah kita tanyakan diri kita sendiri: Apa yg kita inginkan dengan mengingkari penguasa? Kita ingin menasehati dia atau sekedar ingin membeberkan aib-aibnya karena tidak senang dengan kekuasaan yg Allah berikan kpdnya? kalaulah seseorang benar-benar tulus dalam menasehati –dan nasehat itu artinya: iradatul khair lil mansuuh, yakni menginginkan kebaikan bagi yg dinasehati–, maka hendaknya ia menggunakan cara-cara yg menjadikan si penguasa/yg dinasehati mau mendengarkan nasehatnya. Bukankah begitu? Nah, cara ini tidak sama. Lain orang lain caranya. Ketika yg mengingkari seorang yg berwibawa di mata penguasa, akan berbeda hasil dan akibatnya dengan ketika yang mengingkari adalah orang yg tidak disukai oleh si penguasa atau tidak memiliki kedudukan apa-apa di matanya. Karenanya, ketika Anas bin Malik dicaci maki oleh Hajjaj bin Yusuf dan diancam hendak dihabisi, Anas tidak membalas cacian dan ancaman tsb. Beliau mengatakan: Demi Allah, kalaulah tidak teringat akan anak-anakku yg masih kecil, niscaya takkan kupedulikan bagaimana aku akan dibunuhnya (yakni beliau akan melawan ucapan tsb dan tidak peduli bila akhirnya dibunuh). Beliau lantas menyurati Abdul Malik bin Marwan yg menjadi khalifah saat itu, dan merupakan boss-nya Hajjaj. Anas mengatakan bahwa kalaulah kaum yahudi melihat sahabat2nya Musa, pastilah mereka menghormati dan menghargainya. Demikian pula kalau Nashara melihat sahabat2nya Isa, mereka pasti menghormati dan menghargainya. Dan aku adalah sahabat Rasulullah dan pembantunya selama 10 tahun, namun Hajjaj telah mengatakan perkataan yang munkar dan kurang ajar kepadaku, padahal ia tidak berhak mengatakannya. Maka tahanlah dia. Wassalaam…
Setelah membaca surat tsb, maka Abdul Malik langsung naik pitam dan menulis surat dengan bahasa yg sangat kasar kpd Hajjaj, dan menyuruhnya agar begitu membacanya hajjaj hendaknya bersikap lebih rendah kepada Anas daripada sandal Anas sendiri. sehingga begitu membacanya, Hajjaj langsung gemetar dan minta maaf kpd Anas. (lihat: Al Bidayah wan Nihayah 9/153).
Nah, ini salah satu contoh bagaimana Anas mengingkari kemungkaran Hajjaj dgn cara yg lebih tepat, dibandingkan cara yg dilakukan oleh mereka yg memberontak bersama Ibnul Asy’ats.
Lagi pula, siapa sih orang yg senang dibeberkan kesalahannya? Bukankah kebanyakan orang yg keliru justru semakin keras kepala ketika kesalahannya dibeberkan di muka orang? Nah, kalau sudah begitu, maka tidak ada baiknya melakukan hal tsb… kecuali bila dengan kata-kata yg sopan dan tidak menyakitkan atau tidak menyebut-nyebut namanya, namun sekedar menyebut kesalahannya.
Adapun pengingkaran yg dilakukan oleh para ulama spt Imam Malik, dll thd penguasa; maka semuanya dengan cara yang sesuai dengan poin keenam. Yg mengingkari adalah ulama besar yg memiliki wibawa, dan fatwanya diikuti oleh kaum muslimin. Jadi, kalau dia tidak mengingkari maka akan banyak yg tersesat. Karenanya, beliau mengingkari demi menyelamatkan umat walaupun beliau sendiri yg harus menanggung akibatnya. Bandingkan ini dengan pengingkaran secara massa yg dilakukan oleh Harokiyyin hari ini… ga’ nyambung sama sekali. Lagi pula, yg diingkari adalah orang yg berilmu (meskipun zhalim), sehingga bisa memahami duduk permasalahannya. tentunya kalau yg diingkari adalah orang jahil plus zhalim, caranya beda lagi. Kemudian, Imam Malik sama sekali tidak menyinggung-nyinggung kedudukan Abu Ja’far Al Manshur sebagai Khalifah, artinya beliau mengingkari kebijakannya tanpa mengingkari keabsahan dirinya sebagai khalifah. Yakni tidak ada unsur merongrong kekuasaan sama sekali, namun sekedar menjelaskan bahwa apa yg dilakukan Abu Ja’far itu keliru, tanpa memaki-maki, dan tanpa menghasung massa untuk memberontak kpdnya.
Adapun pendapat imam syafi’i yg hanya membatasi dalil syar’i pada Al Qur’an, hadits, ijma’ para sahabat, dan qiyas yg shahih; maka ini tidak menjadi ilzam bagi orang lain yg menganggap adanya ijma’ setelah sahabat, dan inilah yg rajih. lagi pula, sikap yg benar dalam menghadapi perbedaan ijtihad di kalangan sahabat ialah tarjih berdasarkan dalil-dalil yg ada. Bukan pokoknya saya pilih pendapat si fulan. Apalagi dengan adanya ijma’ setelah itu, dan boleh jadi ijma’ ini baru terjadi setelah wafatnya imam syafi’i (th 204) shg beliau tidak mengetahuinya. Nah, apakah pendapat beliau hendak kita menangkan diatas berbagai dalil yg ana sebutkan dlm jawaban ana yg lalu, lalu dimenangkan pula atas ijma’ yg dinukil oleh sejumlah ulama, di antaranya Ibnu Hajar, dan dimenangkan pula atas qiyas yg shahih?? Apakah ini sikap yg ilmiyah??
Adapun ttg Al Husein bin Ali, Sa’id bin Jubeir dll yg berijtihad lalu terbunuh, maka khusus Al Husein, kita katakan sebagai syahid karena sabda Nabi. Adapun Sa’id bin Jubeir memang dibunuh secara zhalim dan diharapkan (tanpa memastikan) sebagai syahid pula. Adapun Hasan bin Ali tidak gugur karena menentang kezhaliman, beliau mati dengan cara biasa, setelah menyerahkan kekuasaannya kepada Mu’awiyah. Itu yg ana tahu. Dan jelaslah bahwa yg membunuh seorang muslim tanpa alasan yg benar terancam dengan siksa pedih, apalagi kalau yg dibunuh adalah ulama, bahkan sahabat Nabi.
Bagi mereka yg terbunuh sebelum terjadinya ijma’ yg mengharamkan pemberontakan bersenjata thd penguasa muslim, maka mereka tidak berdosa karena mereka dianggap mujtahid. Namun bagi yg terbunuh setelah itu, maka wallahu a’lam… bisa jadi mereka berdosa. Apalagi kalau caranya dengan berdemonstrasi, maka jelas ia telah melakukan sesuatu yg haram, atau bahkan bid’ah. Nanti akan ada artikel khusus yg panjang lebar ttg hukum demonstrasi.
Demikian. wallaahu ta’aala a’lam
About Dr. Sufyan Baswedan,MA
Beliau bernama Sofyan Shidiq bin Fuad Baswaedan, kunyah beliau Abu Hudzaifah Al Atsary. Pendidikan beliau :
SMA Negeri 3 Surakarta
S1 Universitas Islam Madinah, KSA
S2 Universitas Islam Madinah, KSA
S3 Universitas Islam Madinah, KSA
Ustadz…saya ingin melanjutkan permasalahan sebelumnya. mohon pembetulannya jika saya salah
1-.Dari pendapat As Sindi, Asy Syaukani dan An-Nawawi yang ustadz nukil, dinyatakan dengan redaksi kalimat yang tidak secara tegas menyatakan bahwa menasehati penguasa seara terang-terangan adalah perkara yang Haram. Hal ini berbeda dengan pendapat Ulama yang sering melabeli khawarij atau manyatakan keharaman terhadap orang yang memberi nasehat secara terang-terangan.
2-.berkaitan dengan sejarah yang ustadz nukilkan, bahwa korban yang tewas di tangan Hajjaj akibat pemberontakan Abdurrahman bin Asy’ats mencapai 130 ribu orang, dan semuanya dieksekusi di depan Hajjaj tanpa bisa melawan”
Dengan banyaknya korban dari kalangan shahabat atau tabi’in yang gugur ditangan hajjaj, bukankah menunjukkan bahwa tidak ada ijma’ dari kalangan shahabat dan tabi’in bahwa menasehati penguasa secara terang-terangan adalah haram?
lalu bagaimana dengan :
1) Mazhab Imam Malik menjadikan pendapat ahlul Madinah sebagai dalil syara’, sedangkan ahlul Medinah telah menentang Yazid. Dan Imam Malik rahimahullah, tidak menyukai pemberontakan terhadap khalifah, tetapi juga menyatakan ketidaksetujuannya secara terang-terangan terhadap kezhaliman penguasa yang meminta bai’at dengan paksa dengan menyatakan hadist:
“Laysa ‘ala mustakrohi yamiin” (tidak sah sumpah dibawah paksaan)
Beliau rahimahullah disiksa oleh penguasa Abu Ja’far Al Mansur.
2) Mahzhab Imam Syafi’i membatasi pengggunaan dalil syara’ adalah dari Al Qur’an dan Hadist shahih, ijma’ shahabat dan Qiyash Syar’i.
Artinya, Imam Syafi’i rahimahullah tidak menjadikan ijma’ ulama sesudah mereka (jika memang mereka telah berijma) sebagai dalil syara’. Telah jelas, terdapat perselisihan dikalangan shahabat dan tabi’in di dalam masalah menasehati penguasa secara terang-terangan ini dikalangan mereka, maka bagaimana mungkin dinyatakan bahwa menasehati penguasa secara siir adalah kaidah Ulama salaf? Sedang, ulama salaf shalih adalah ada dari kalangan shahabat.
Apakah dibenarkan pendapat meyakini, bahwa mereka yang gugur menentang kezaliman penguasa (termasuk Said bin Zubair, Hasan dan Husein), insyaAllah syahid karena usaha mereka menegakkan Agama, sedangkan mereka pembunuhnya akan mendapat kemurkaan yang besar dari Allah subhana wa Ta’ala?
Apakah Jika kita menganggap menasehati penguasa secara terang-terangan adalah haram, maka berarti kita menganggap bahwa mereka yang gugur karena menasehati penguasa dan menentang penguasa secara terang-terangan berarti meninggal di dalam keadaan berdosa?
12 Maret 2011 at 11:24 am
Sebelum mengingkari kemunkaran (baik dari penguasa/lainnya), seseorang harus memperhatikan hal-hal berikut:
1-Ia harus tahu benar bahwa yg terjadi adalah kemunkaran menurut syar’i.
2-Ia harus melihatnya dengan mata kepala, baru wajib mengingkarinya. Adapun yg sekedar diberitahu maka tidak wajib. Karena Nabi mengaitkan pengingkaran dengan ‘melihat’ (man ro’a minkum munkaran…).
3-Ia harus memperhatikan tahapan-tahapan inkarul munkar. Apakah mengingkarinya dengan tangan, dengan lisan, atau cukup dengan hati. Sebab tidak semua orang bisa dan boleh melakukan penginkaran dengan tangan dan lisan. Penginkaran dengan tangan ialah bagi yg berkuasa melakukannya. sedangkan dengan lisan bagi yg berilmu. Namun semuanya harus dan bisa mengingkari dengan hati.
4-Ia harus memperhitungkan bahwa pengingkarannya tidak akan menimbulkan kemungkaran yg lebih besar dari yang ingin dia ingkari. Kalau ia yakin, atau menduga kuat tidak akan menimbulkan kemungkaran lebih besar; maka dianjurkan baginya untuk inkarul munkar. Tapi kalau tidak yakin (ragu-ragu) maka tidak dianjurkan, karena keraguan tidak boleh menjadi landasan berbuat dalam syari’at.
5-Ia harus mengingkari dengan cara yang syar’i, bukan dengan semangat doang tanpa ilmu…
6-Bentuk pengingkaran tidaklah sama, tergantung siapa yg mengingkari, siapa yg diingkari, dan apa kemungkaran yg dilakukan.
setelah memperhatikan poin-poin di atas, cobalah kita tanyakan diri kita sendiri: Apa yg kita inginkan dengan mengingkari penguasa? Kita ingin menasehati dia atau sekedar ingin membeberkan aib-aibnya karena tidak senang dengan kekuasaan yg Allah berikan kpdnya? kalaulah seseorang benar-benar tulus dalam menasehati –dan nasehat itu artinya: iradatul khair lil mansuuh, yakni menginginkan kebaikan bagi yg dinasehati–, maka hendaknya ia menggunakan cara-cara yg menjadikan si penguasa/yg dinasehati mau mendengarkan nasehatnya. Bukankah begitu? Nah, cara ini tidak sama. Lain orang lain caranya. Ketika yg mengingkari seorang yg berwibawa di mata penguasa, akan berbeda hasil dan akibatnya dengan ketika yang mengingkari adalah orang yg tidak disukai oleh si penguasa atau tidak memiliki kedudukan apa-apa di matanya. Karenanya, ketika Anas bin Malik dicaci maki oleh Hajjaj bin Yusuf dan diancam hendak dihabisi, Anas tidak membalas cacian dan ancaman tsb. Beliau mengatakan: Demi Allah, kalaulah tidak teringat akan anak-anakku yg masih kecil, niscaya takkan kupedulikan bagaimana aku akan dibunuhnya (yakni beliau akan melawan ucapan tsb dan tidak peduli bila akhirnya dibunuh). Beliau lantas menyurati Abdul Malik bin Marwan yg menjadi khalifah saat itu, dan merupakan boss-nya Hajjaj. Anas mengatakan bahwa kalaulah kaum yahudi melihat sahabat2nya Musa, pastilah mereka menghormati dan menghargainya. Demikian pula kalau Nashara melihat sahabat2nya Isa, mereka pasti menghormati dan menghargainya. Dan aku adalah sahabat Rasulullah dan pembantunya selama 10 tahun, namun Hajjaj telah mengatakan perkataan yang munkar dan kurang ajar kepadaku, padahal ia tidak berhak mengatakannya. Maka tahanlah dia. Wassalaam…
Setelah membaca surat tsb, maka Abdul Malik langsung naik pitam dan menulis surat dengan bahasa yg sangat kasar kpd Hajjaj, dan menyuruhnya agar begitu membacanya hajjaj hendaknya bersikap lebih rendah kepada Anas daripada sandal Anas sendiri. sehingga begitu membacanya, Hajjaj langsung gemetar dan minta maaf kpd Anas. (lihat: Al Bidayah wan Nihayah 9/153).
Nah, ini salah satu contoh bagaimana Anas mengingkari kemungkaran Hajjaj dgn cara yg lebih tepat, dibandingkan cara yg dilakukan oleh mereka yg memberontak bersama Ibnul Asy’ats.
Lagi pula, siapa sih orang yg senang dibeberkan kesalahannya? Bukankah kebanyakan orang yg keliru justru semakin keras kepala ketika kesalahannya dibeberkan di muka orang? Nah, kalau sudah begitu, maka tidak ada baiknya melakukan hal tsb… kecuali bila dengan kata-kata yg sopan dan tidak menyakitkan atau tidak menyebut-nyebut namanya, namun sekedar menyebut kesalahannya.
Adapun pengingkaran yg dilakukan oleh para ulama spt Imam Malik, dll thd penguasa; maka semuanya dengan cara yang sesuai dengan poin keenam. Yg mengingkari adalah ulama besar yg memiliki wibawa, dan fatwanya diikuti oleh kaum muslimin. Jadi, kalau dia tidak mengingkari maka akan banyak yg tersesat. Karenanya, beliau mengingkari demi menyelamatkan umat walaupun beliau sendiri yg harus menanggung akibatnya. Bandingkan ini dengan pengingkaran secara massa yg dilakukan oleh Harokiyyin hari ini… ga’ nyambung sama sekali. Lagi pula, yg diingkari adalah orang yg berilmu (meskipun zhalim), sehingga bisa memahami duduk permasalahannya. tentunya kalau yg diingkari adalah orang jahil plus zhalim, caranya beda lagi. Kemudian, Imam Malik sama sekali tidak menyinggung-nyinggung kedudukan Abu Ja’far Al Manshur sebagai Khalifah, artinya beliau mengingkari kebijakannya tanpa mengingkari keabsahan dirinya sebagai khalifah. Yakni tidak ada unsur merongrong kekuasaan sama sekali, namun sekedar menjelaskan bahwa apa yg dilakukan Abu Ja’far itu keliru, tanpa memaki-maki, dan tanpa menghasung massa untuk memberontak kpdnya.
Adapun pendapat imam syafi’i yg hanya membatasi dalil syar’i pada Al Qur’an, hadits, ijma’ para sahabat, dan qiyas yg shahih; maka ini tidak menjadi ilzam bagi orang lain yg menganggap adanya ijma’ setelah sahabat, dan inilah yg rajih. lagi pula, sikap yg benar dalam menghadapi perbedaan ijtihad di kalangan sahabat ialah tarjih berdasarkan dalil-dalil yg ada. Bukan pokoknya saya pilih pendapat si fulan. Apalagi dengan adanya ijma’ setelah itu, dan boleh jadi ijma’ ini baru terjadi setelah wafatnya imam syafi’i (th 204) shg beliau tidak mengetahuinya. Nah, apakah pendapat beliau hendak kita menangkan diatas berbagai dalil yg ana sebutkan dlm jawaban ana yg lalu, lalu dimenangkan pula atas ijma’ yg dinukil oleh sejumlah ulama, di antaranya Ibnu Hajar, dan dimenangkan pula atas qiyas yg shahih?? Apakah ini sikap yg ilmiyah??
Adapun ttg Al Husein bin Ali, Sa’id bin Jubeir dll yg berijtihad lalu terbunuh, maka khusus Al Husein, kita katakan sebagai syahid karena sabda Nabi. Adapun Sa’id bin Jubeir memang dibunuh secara zhalim dan diharapkan (tanpa memastikan) sebagai syahid pula. Adapun Hasan bin Ali tidak gugur karena menentang kezhaliman, beliau mati dengan cara biasa, setelah menyerahkan kekuasaannya kepada Mu’awiyah. Itu yg ana tahu. Dan jelaslah bahwa yg membunuh seorang muslim tanpa alasan yg benar terancam dengan siksa pedih, apalagi kalau yg dibunuh adalah ulama, bahkan sahabat Nabi.
Bagi mereka yg terbunuh sebelum terjadinya ijma’ yg mengharamkan pemberontakan bersenjata thd penguasa muslim, maka mereka tidak berdosa karena mereka dianggap mujtahid. Namun bagi yg terbunuh setelah itu, maka wallahu a’lam… bisa jadi mereka berdosa. Apalagi kalau caranya dengan berdemonstrasi, maka jelas ia telah melakukan sesuatu yg haram, atau bahkan bid’ah. Nanti akan ada artikel khusus yg panjang lebar ttg hukum demonstrasi.
Demikian. wallaahu ta’aala a’lam